KARAWANG-TRIKUPDATE.CLIK | PASCA keputusan penutupan sementara tambang di wilayah Parung Panjang, Cigudeg, dan Rumpin, Gubernur Jawa Barat Dedi Mulyadi (KDM) mengeluarkan Surat Edaran (SE) susulan. SE tersebut diterbitkan melalui Dinas Energi dan Sumber Daya Mineral (ESDM) Provinsi Jawa Barat dengan Nomor: 5126/ES.09/Tambang, dan ditujukan kepada seluruh pemegang Izin Usaha Pertambangan (IUP) Tahap Kegiatan Operasi Produksi di Jawa Barat, kecuali wilayah Parung Panjang dan sekitarnya.
Secara substansial, SE tersebut mengatur secara komprehensif tentang tonase dan jenis kendaraan angkutan hasil tambang di luar wilayah yang ditutup. Pemprov Jabar melalui Dinas ESDM menghimbau para pelaku usaha tambang agar hanya menggunakan kendaraan sumbu 2 dengan muatan sumbu (MST) tidak lebih dari 8 ton. Kebijakan ini berlaku mulai Jumat, 10 Oktober 2025.
Menyikapi dinamika pertambangan ini, Pemerhati Kebijakan Publik, Andri Kurniawan, mengapresiasi langkah Gubernur Jabar. Menurutnya, kepedulian Kang Dedi Mulyadi (KDM) terhadap lingkungan sudah terbukti sejak beliau menjadi aktivis.
“Sebagai masyarakat Jabar, saya sangat mendukung langkah tegas Gubernur menutup kegiatan tambang ilegal, sekaligus mengevaluasi hal teknis bagi pelaksana pertambangan legal,” ujar Andri.
Namun, Andri Kurniawan juga menegaskan bahwa ada beberapa hal krusial yang perlu dipertimbangkan kembali oleh Pemprov Jabar terkait pembatasan tonase angkutan hasil tambang, meskipun tambang tersebut berstatus legal.
Andri Kurniawan menyoroti potensi dampak signifikan dari kebijakan pembatasan tonase ini terhadap sektor pembangunan.
“Kebijakan ini juga berdampak pada keberlanjutan pembangunan infrastruktur, padahal Pemprov Jabar sedang fokus membenahi infrastruktur, khususnya jalan,” ungkapnya.
Lebih lanjut, ia menjelaskan bahwa Proyek Proyek Strategis Nasional (PSN) dipastikan akan terkena dampak, karena kebijakan ini berkaitan langsung dengan ketersediaan bahan baku pembangunan yang bersumber dari hasil tambang.
“Pembatasan tonase angkutan sangat berpengaruh terhadap jalannya pembangunan. Dengan begitu, secara otomatis harga bahan baku akan sulit didapatkan, dan harganya berpotensi mengalami kenaikan,” tegas Andri.
Kenaikan harga bahan baku ini menimbulkan masalah baru karena Harga Perkiraan Sendiri (HPS), atau harga satuan proyek, telah ditentukan jauh hari sebelumnya. Meskipun ada mekanisme adendum HPS, proses tersebut memerlukan waktu yang tidak sebentar. Hal ini sangat mengganggu target penyelesaian proyek pemerintah menjelang akhir tahun.
“Saran saya, ada baiknya perihal pembatasan tonase ini dipertimbangkan kembali. Cari solusi lain untuk menjaga usia jalan yang dilalui angkutan, misalnya dengan peningkatan kualitas jalan,” pungkas Andri Kurniawan.
Pewarta: RyaSKa



